Rabu, 29 September 2010

HIPOTIROIDISME

A. DEFINISI
Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid kurang aktif dan menghasilkan terlalu sedikit hormon tiroid. Hipotiroid yang sangat berat disebut miksedema.

B. PENYEBAB
Penyebab yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto. Pada tiroiditis Hashimoto, kelenjar tiroid seringkali membesar dan hipotiroidisme terjadi beberapa bulan kemudian akibat rusaknya daerah kelenjar yang masih berfungsi. Penyebab kedua tersering adalah pengobatan terhadap hipertiroidisme. Baik yodium radioaktif maupun pembedahan cenderung menyebabkan hipotiroidisme. Kekurangan yodium jangka panjang dalam makanan, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang kurang aktif (hipotiroidisme goitrosa). Kekurangan yodium jangka panjang merupakan penyebab tersering dari hipotiroidisme di negara terbelakang.

C. GEJALA
Kekurangan hormon tiroid menyebabkan melambatnya fungsi tubuh. Gejalanya ringan dan timbul secara bertahap, bisa disalahartikan sebagai depresi. Ekspresi wajah menjadi tumpul, suara menjadi serak dan berbicara menjadi lambat, kelopak mata menutup dan mata serta wajah menjadi bengkak. Banyak penderita yang mengalami penambahan berat badan, sembelit dan tidak tahan terhadap cuaca dingin. Rambut menjadi tipis, kasar dan kering; kulit menjadi kasar, kering, bersisik dan menebal. Banyak penderita yang mengalami sindroma terowongan karpal. Denyut nadi bisa melambat, telapak tangan dan telapak kaki tampak agak oranye (karotenemia) dan alis mata bagian samping mulai rontok. Beberapa penderita, terutama yang berusia lanjut, menjadi pelupa, bingung dan pikun.
Jika tidak diobati, pada akhirnya akan terjadi anemia dan gagal jantung.
Keadaan ini bisa berkembang menjadi stupor atau koma (koma miksedema). Keadaan ini bisa berakibat fatal; pernafasan menjadi lambat, penderita mengalami kejang dan aliran darah ke otak berkurang.
Koma miksedema bisa dipicu oleh:
- cuaca dingin
- infeksi
- trauma
- obat-obatan (misalnya obat penenang yang menekan fungsi otak).

D. Komplikasi dan Penatalaksanaan
Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang ditandai oleh eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk hipotermi tanpa menggigil, hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan kesadaran hingga koma. Kematian dapat terjadi apabila tidak diberikan HT dan stabilisasi semua gejala. Dalam keadaan darurat (misalnya koma miksedem), hormon tiroid bisa diberikan secara intravena. Hipotiroidisme diobati dengan menggantikan kekurangan hormon tiroid, yaitu dengan memberikan sediaan per-oral (lewat mulut). Yang banyak disukai adalah hormone tiroid buatan T4. Bentuk yanglain adalah tiroid yang dikeringkan (diperoleh dari kelenjar tiroid hewan).
Pengobatan pada penderita usia lanjut dimulai dengan hormon tiroid dosis rendah, karena dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan efek samping yang serius. Dosisnya diturunkan secara bertahap sampai kadar TSH kembali normal. Obat ini biasanya terus diminum sepanjang hidup penderita. Pengobatan selalu mencakup pemberian tiroksin sintetik sebagai pengganti hormone tiroid. Apabila penyebab hipotiroidism berkaitan dengan tumor susunan saraf pusat, maka dapat diberikan kemoterapi, radiasi, atau pembedahan.

F. Pengkajian Keperawatan
Dampak penurunan kadar hormon dalam tubuh sangat bervariasi, oleh karena itu lakukanlah pengkajian terhadap ha1-ha1 penting yang dapat menggali sebanyak mungkin informasi antara lain
1. Riwayat kesehatan klien dan keluarga. Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
2. Kebiasaan hidup sehari-hari seperti
a. Pola makan
b. Pola tidur (klien menghabiskan banyak waktu untuk tidur).
c. Pola aktivitas.

3. Tempt tinggal klien sekarang dan pada waktu balita.
4. Keluhan utama klien, mencakup gangguan pada berbagai sistem tubuh;
a. Sistem pulmonari
b. Sistem pencernaan
c. Sistem kardiovaslkuler
d. Sistem muskuloskeletal
e. Sistem neurologik dan Emosi/psikologis
f. Sistem reproduksi
g. Metabolik


5. Pemeriksaart fisik mencakup
a. Penampilan secara umum; amati wajah klien terhadap adanya edema sekitar mata, wajah bulan dan ekspresi wajah kosong serta roman wajah kasar. Lidah tampak menebal dan gerak-gerik klien sangat lamban. Postur tubuh keen dan pendek. Kulit kasar, tebal dan berisik, dingin dan pucat.
b. Nadi lambat dan suhu tubuh menurun:
c. Perbesaran jantung
d. Disritmia dan hipotensi
e. Parastesia dan reflek tendon menurun

G. Diagnosa dan Intervensi
1. Intoleran aktivitas berhubungan dengan. kelelahan dan penurunan proses kognitif.
Tujuan : Meningkatkan partisipasi dalam aktivitas dan kemandirian
Intervensi
a. Atur interval waktu antar aktivitas untuk meningkatkan istirahat dan latihan yang dapat ditelerir.
Rasional : Mendorong aktivitas sambil memberikan kesempatan untuk mendapatkan istirahat yang adekuat.
b. Bantu aktivitas perawatan mandiri ketika pasien berada dalam keadaan lelah.
Rasional : Memberi kesempatan pada pasien untuk berpartisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri.
c. Pantau respons pasien terhadap peningkatan aktititas
Rasional : Menjaga pasien agar tidak melakukan aktivitas yang berlebihan atau kurang.

2. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal
Tujuan : Pemulihan fungsi usus yang normal.
Intervensi
a. Dorong peningkatan asupan cairan
Rasional : Meminimalkan kehilangan panas
b. Berikan makanan yang kaya akan serat
Rasional : Meningkatkan massa feses dan frekuensi buang air besar
c. Ajarkan kepada klien, tentang jenis -jenis makanan yang banyak mengandung air
Rasional : Untuk peningkatan asupan cairan kepada pasien agar . feses tidak keras
d. Pantau fungsi usus
Rasional : Memungkinkan deteksi konstipasi dan pemulihan kepada pola defekasi yang normal.
e. Dorong klien untuk meningkatkan mobilisasi dalam batas-batas toleransi latihan.
Rasional : Meningkatkan evakuasi feses
f. Kolaborasi : untuk pemberian obat pecahar dan enema bila diperlukan.
Rasional : Untuk mengencerkan fees.


3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi ventilasi
Tujuan: Perbaikan status respiratorius dan pemeliharaan pola napas yang normal.
Intervensi
a. Pantau frekuensi; kedalaman, pola pernapasan; oksimetri denyut nadi dan gas darah arterial
Rasional : Mengidentifikasi hasil pemeriksaan dasar untuk memantau perubahan selanjutnya dan mengevaluasi efektifitas intervensi.
b. Dorong pasien untuk napas dalam dan batuk
Rasional : Mencegah aktifitas dan meningkatkan pernapasan yang adekuat.
c. Berikan obat (hipnotik dan sedatip) dengan hati-hati
Rasional : Pasien hipotiroidisme sangat rentan terhadap gangguan pernapasan akibat
a. gangguan obat golongan hipnotik-sedatif.
Rasional : Penggunaan saluran napas artifisial dan dukungan ventilasi mungkin diperlukan jika terjadi depresi pernapasan

4. Perubahan pola berpikir berhubungan dengan gangguan metabolisme dan perubahan status kardiovaskuler serta pernapasan.
Tujuan: Perbaikan proses berpikir.

Intervensi
a. Orientasikan pasien terhadap waktu, tempat, tanggal dan kejadian disekitar dirinya.
b. Berikan stimulasi lewat percakapan dan aktifitas yang, tidak bersifat mengancam.
Rasional : Memudahkan stimulasi dalam batas-batas toleransi pasien terhadap stres.
c. Jelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa perubahan pada fungsi kognitif dan mental merupakan akibat dan proses penyakit . .
Rasional : Meyakinkan pasien dan keluarga tentang penyebab perubahan kognitif dan bahwa hasil akhir yang positif dimungkinkan jika dilakukan terapi yang tepat

UROLITHIASIS

1.Pengertian
Ureterolithiasis adalah kalkulus atau batu di dalam ureter (Sue Hinchliff, 1999 Hal 451).
Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimtomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului oleh serangan kolik. (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027)

2.Etiologi
Etiologi pembentukan batu meliputi idiopatik, gangguan aliran kemih, gangguan metabolisme, infeksi saluran kemih oleh mikroorganisme berdaya membuat urease (Proteus mirabilis), dehidrasi, benda asing, jaringan mati (nekrosis papil) dan multifaktor (www.detikhealth.com/konsultasi/ urologi/html, 07 Oktober 2003 Jam 09.00).
Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran kemih; tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar.
Beberapa teori pembentukan batu adalah :

a.Teori Nukleasi
Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang kelewat jenuh (supersaturated) akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.

b.Teori Matriks
Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin, dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.

c.Penghambatan kristalisasi
Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal, antara lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu di dalam saluran kemih.
(Basuki, 2000 hal. 63).

3. Insiden
penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di negara kita. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas; hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari-hari.
Di Amerika Serikat 5 – 10% penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 – 12 % penduduk menderita batu saluran kemih (Basuki, 2000 Hal. 62)

4. Patofisiologi
Komposisi batu saluran kemih yang dapat ditemukan adalah dari jenis urat, asam urat, oksalat, fosfat, sistin, dan xantin. Batu oksalat kalsium kebanyakan merupakan batu idiopatik. Batu campuran oksalat kalsium dan fosfat biasanya juga idiopatik; di antaranya berkaitan dengan sindrom alkali atau kelebihan vitamin D. Batu fosfat dan kalsium (hidroksiapatit) kadang disebabkan hiperkalsiuria (tanpa hiperkalsemia). Batu fosfat amonium magnesium didapatkan pada infeksi kronik yang disebabkan bakteria yang menghasilkan urease sehingga urin menjadi alkali karena pemecahan ureum. Batu asam urin disebabkan hiperuremia pada artritis urika. Batu urat pada anak terbentuk karena pH urin rendah (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).
Pada kebanyakan penderita batu kemih tidak ditemukan penyebab yang jelas. Faktor predisposisi berupa stasis, infeksi, dan benda asing. Infeksi, stasis, dan litiasis merupakan faktor yang saling memperkuat sehingga terbentuk lingkaran setan atau sirkulus visiosus.
Jaringan abnormal atau mati seperti pada nekrosis papila di ginjal dan benda asing mudah menjadi nidus dan inti batu. Demikian pula telor sistosoma kadang berupa nidus batu (R. Sjamsuhidajat, 1998 Hal. 1027).

5. Manifestasi Klinis
Gerakan pristaltik ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (kolik). Nyeri ini dapat menjalar hingga ke perut bagian depan, perut sebelah bawah, daerah inguinal, dan sampai ke kemaluan.
Batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu yang ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan yang lebih besar seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan (periureteritis) serta menimbulkan obstruksi kronik berupa hidroureter/hidronefrosis (Basuki, 2000 Hal 69).

6. Tes Diagnostik
a.Air kemih
1)Mikroskopik endapan
2)Biakan
3)Sensitivitas kuman

b.Faal ginjal
1)Ureum
2)Kreatinin
3)Elektrolit

c.Foto polos perut (90% batu kemih radiopak)

d.Foto pielogram intravena (adanya efek obstruksi)

e.Ultrasonografi ginjal (hidronefrosis)

f.Foto kontras spesial
1)Retrograd
2)Perkutan

g.Analisis biokimia batu

h.Pemeriksaan kelainan metabolic

7. Penatalaksanaan Medik
a.Medikamentosa
Ditujukan untuk batu yang ukurannya < 5 mm, karena batu diharapkan dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar.

b.ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsi)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif atau pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.

c.Endourologi
1). PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) : mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu.

2). Litotripsi : memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik.

3). Ureteroskopi atau uretero-renoskopi : memasukkan alat ureteroskopi per uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi atau uretero-renoskopi ini.

4). Ekstraksi Dormia : mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya dengan keranjang Dormia.

d.Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

e.Bedah terbuka :
1). Pielolitotomi atau nefrolitotomi : mengambil batu di saluran ginjal
2). Ureterolitotomi : mengambil batu di ureter.
3). Vesikolitotomi : mengambil batu di vesica urinaria
4). Ureterolitotomi : mengambil batu di uretra.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
Proses keperawatan adalah suatu sistem perencanaan pelayanan asuhan keperawatan yang terdiri dari 5 (lima) tahap (Doenges, 1998 Hal. 2), yaitu :
1.Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan pengumpulan data yang berhubungan dengan pasien secara sistematis. Pengkajian keperawatan pada ureterolithiasis tergantung pada ukuran, lokasi, dan etiologi kalkulus (Doenges, 1999 Hal 672).

a.Aktivitas / istirahat
Gejala : pekerjaan monoton, pekerjaan di mana klien terpajan pada lingkungan bersuhu tinggi, keterbatasan aktivitas / mobilitas sehubungan kondisi sebelumnya.

b. Sirkulasi
Tanda : peningkatan TD / nadi, (nyeri, obstruksi oleh kalkulus) kulit hangat dan kemerahan, pucat.

c. Eliminasi
Gejala : riwayat adanya ISK kronis, penurunan haluaran urine, distensi vesica urinaria, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare.
Tanda : oliguria, hematuria, piuruia, perubahan pola berkemih

d. Makanan / cairan
Gejala : mual / muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium oksalat / fosfat, ketidakcukupan intake cairan
Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tidak ada bising usus , muntah

e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : episode akut nyeri berat, lokasi tergantung pada lokasi batu, nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat, tidak hilang dengan perubahan posisi atau tindakan lain
Tanda : melindungi, prilaku distraksi, nyeri tekan pada area abdomen

f. Keamanan
Gejala : pengguna alkohol, demam, menggigil

g. Penyuluhan dan Pembelajaran
Gejala : riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, ISK, paratiroidisme, hipertensi, pengguna antibiotik, antihipertensi, natrium bikarbonat, allopurinol, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin

h. Pemeriksaan diagnostik
Urinalisis, urine 24 jam, kultur urine, survey biokimia, foto Rontgen, IVP, sistoureteroskopi, scan CT, USG

2. Diagnosa Keperawatan
Dari data-data yang didapatkan pada pengkajian, disusunlah diagnosa keperawatan. Adapun diagnosa keperawatan yang umum timbul pada batu saluran kemih adalah (Doenges, 1999 Hal 672)
a.Nyeri (akut), berhubungan dengan trauma jaringan
b.Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik
c.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi
i.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi

3.Intervensi
Dari diagnosa yang telah disusun berdasarkan data dari pengkajian, maka langkah selanjutnya adalah menyusun intervensi.

a.Nyeri (akut), berhubungan dengan trauma jaringan
Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
1). Catat lokasi nyeri, lamanya intensitas, dan penyebaran
Rasional : membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan pergerakan kalkulus.
2). Jelaskan penyebab nyeri
Rasional : memberi kesempatan untuk pemberian analgetik dan membantu meningkatkan koping klien.
3). Lakukan tindakan nyaman
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot, dan meningkatkan koping.
4). Bantu dengan ambulasi sesuai indikasi
Rasional : mencegah stasis urine
5). Kolaborasi : pemberian obat sesuai indikasi
Rasional : mengurangi keluhan

b.Perubahan pola eliminasi berkemih (polakisuria) berhubungan dengan obstruksi mekanik
Tujuan : Mempertahankan fungsi ginjal adekuat
Intervensi :
1). Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urine
Rasional : memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi.
2). Tetapkan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi
Rasional : kalkulus dapat menyebabkan eksibilitas saraf, sehingga menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera.
3). Dorong peningkatan intake cairan
Rasional : peningkatan hidrasi membilas bakteri, darah, dan dapat membantu lewatnya batu
4). Periksan semua urine, catat adanya batu
Rasional : penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe dan jenis batu untuk pilihan terapi.
5). Selidiki keluhan kandung kemih penuh
Rasional : Retensi urine dapat terjadi, menyebabkan distensi jaringan
6). Kolaborasi : awasi pemeriksaan laboratorium
Rasional : hal ini mengindikasikan fungsi ginjal

c.Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis pasca obstruksi
Tujuan : Mencegah komplikasi
Intervensi :
1). Awasi pemasukan dan pengeluaran
Rasional : membandingkan keluaran aktual dan yang diantisipasi membantu dalam evaluasi adanya kerusakan ginjal
2). Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3-4 liter / hari dalam toleransi jantung
Rasional : mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis tindakan “mencuci” yang dapat membilas batu keluar.
3). Observasi tanda-tanda vital
Rasional : indikasi hidrasi / volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi
4). Kolaborasi : awasi Hb. / Ht., elektrolit
Rasional : mengkaji hidrasi dan keefektifan / kebutuhan intervensi

d.Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan / mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi
Tujuan : Memberikan informasi tentang proses penyakitnya / prognosis dan kebutuhan pengobatan
Intervensi :
1). Kaji ulang proses penyakit
Rasional : memberikan pengetahuan dasar di mana klien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi
2). Tekankan pentingnya peningkatan masukan cairan
Rasional : pembilasan sistem ginjal menurunkan kesempatan pembentukan batu
3). Kaji ulang program diet
Rasional : diet tergantung tipe batu

4.Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tahap ke ekmpat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan. Pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas – aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien.
Agar implementasi perencanaan ini dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, perlu mengidentifikasi prioritas perawatan pasien kemudian bila telah dilaksanakan memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya (Doenges, 1998 Hal 105).

5.Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai tingkat keberhasilan pelayanan asuhan keperawatan yang telah dilakukan. Dalam tahap ini, akan terlihat apakah tujuan yang telah disusun tercapai atau tidak.
Pada penderita dengan ureterolithiasis, hasil evaluasi yang diharapkan meliputi :
a.Nyeri hilang / terkontrol
b.Keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan
c.Komplikasi dicegah / minimal
d.Proses penyakit / prognosis dan program terapi dipahami
C. Long Barbara, Perawatan Medikal Bedah , jilid 3, Yayasan IAPK Pajajaran, Bandung, 1996
Doenges ME, dkk., Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3, EGC, Jakarta, 2000
Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, volume I, EGC, Jakarta , 1999
Marry Ann Matteson, Introductory Nursing Care of Adults, Sounder Company, Philadelpia Penn Sylvani, 1995
Purnomo, B. Basuki, Dasar-dasar Urolog , cetakan I, CV. Infomedika, Jakarta, 2000
Robert Prihardjo, Pengkajian Fisik Keperawatan, cetakan II, EGC, Jakarta, 1996
Wim de Jong dan Sjamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1998

kista ovarium

I.DEFINISI
•Kista adalah suatu jenis tumor, emyebab pastinya sendiri belum diketahui, diduga seringnya memakai kesuburan. (Soemadi, 2006)
•Kista adalah suatu jenis tumor berupa kantong abnormal yang berisi cairan atau benda seperti bubur (Dewa, 2000)
•Kista adalah suatu bentukan yang kurang lebih bulat dengan dinding tipis, berisi cairan atau bahan setengah cair (Sjamsuhidajat, 1998).
•Kista adalah pembesaran suatu organ yang di dalam berisi cairan seperti balon yang berisi air. Pada wanita organ yang paling sering terjadi Kista adalah indung telur. Tidak ada keterkaitan apakah indung telur kiri atau kanan. Pada kebanyakan kasus justru tak memerlukan operasi. (http:// suara merdeka.com)

II.SIFAT KISTA
1.Kista Fisiologis
Kista yang bersifat fisiologis lazim terjadi dan itu normal normal saja. Sasuai suklus menstruasi, di ovarium timbul folikel dan folikelnya berkembang, dan gambaranya seperti kista. Biasanya kista tersebut berukuran dibawah 5 cm, dapat dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan USG, dan dalam 3 bulan akan hilang. Jadi ,kista yang bersifat fisiologis tidak perlu operasi, karena tidak berbahaya dan tidak menyebabkan keganasan, tetapi perlu diamati apakah kista tersebut mengalami pembesaran atau tidak.
Kista yang bersifat fisiologis ini dialami oleh orang di usia reproduksi karena dia masih mengalami menstruasi. Bila seseorang diperiksa ada kista, jangan takut dulu, karena mungkin kstanya bersifat fisiologis. Biasanya kista fisiologis tidak menimbuklkan nyeri pada saat haid. '

2.Kista Patologis (Kanker Ovarium)
Kista ovarium yang bersifat ganas disebut juga kanker ovarium. Kanker ovarium merupakan penyebab kematian terbanyak dari semua kanker ginekologi. Angka kematian yang tinggi karena penyakit ini pada awalnya bersifat tanpa gejala dan tanpa menimbulkan keluhan apabila sudah terjadi metastasis, sehingga 60-70% pasien dating pada stadium lanjut, penyakit ini disebut juga sebagai silent killer. Angka kematian penyakit ini di Indonesia belum diketahui dengan pasti.
Pada yang patologis, pembesaran bisa terjadi relative cepat, yang kadang tidak disadari si penderita. Karena, kista tersebut sering muncul tanpa gejala seperti penyakit umumnya. Itu sebabnya diagnosa aalnya agak sulit dilakukan. Gejala gejala seperti perut yang agak membuncit serta bagian bawah perut yang terasa tidak enak biasanya baru dirasakan saat ukuranya sudah cukup besar. Jika sudah demikian biasanya perlu dilakukan tindakan pengangkatan melalui proses laparoskopi, sehingga tidak perlu dilakukan pengirisan di bagian perut penderita. Setelah di angkat pemeriksaan rutin tetap perlu dilakukan untuk mengetahui apakah kista itu akan muncul kembali atau tidak.
Ada lagi jenis kista abnormal pada ovarium. Jenis ini ada yang bersifat jinak dan ganas. Bersifat jinak jika bisa berupa spot dan benjolan yang tidak menyebar. Meski jinak kista ini dapat berubah menjadi ganas. Sayangnya sampai saat ini, belum diketahui dengan pasti penyebab perubahan sifat tersebut.
Kista ganas yang mengarah ke kanker biasanya bersekat sekat dan dinding sel tebal dan tidak teratur. Tidak seperti kista fisiologis yang hanya berisi cairan, kista abnormal memperlihatkan campuran cairan dan jaringan solid dan dapat bersifat ganas.

III.JENIS KISTA
Jenis kista indung telur meliputi:
1.Kista Fungsional.
Sering tanpa gejala, timbul gejala rasa sakit bila disertai komplikasi seprti terpuntir/ pecah, tetapi komplikasi ini sangat jarang. Dan sangat jarang pada kedua indung telur. Kista bisa mengecil dalam waktu 1-3 bilan.

2.Kista Dermoid.
Terjadi karena jaringan dalam telur yang tidak dibuahi kemudian tumbuh menjadi beberapa jaringan seperti rambut, tulang, lemak. Kista dapat terjadi pada kedua indung telur dan biasanya tanpa gejala. Timbul gejala rasa sakit bila kista terpuntir/ pecah.

3.Kista Cokelat. (Edometrioma)
Terjadi karena lapisan didalam rahim (yang biasanya terlepas sewaktu haid dan terlihat keluar dari kemaluan seperti darah); tidak terletak dalam ragim tetapi melekat pada dinding luar indung telur. Akibat peristiwa ini setiap kali haid, lapisan tersebut menghasilakan darah haid yang akan terus menerus tertimbun dan menjadi kista. Kista ini bisa 1 pada dua indung telur. Timbul gejala utama yaitu rasa sakit terutama sewaktu haid/ sexsuale intercourse.

4.Kistadenoma.
Berasal dari pembungkus indung telur yang tumbuh menjadi kista. Kista jenis ini juga dapat menyerang indung telur kanan dan kiri. Gejala yang timbul biasanya akibat penekanan pada bagian tubuh sekitar seperti VU sehingga dapat menyebabkan inkontinensia. Jarang terjadi tetapi mudah menjadi ganas terutama pada usia diatas 45 tahun atau kurang dari 20 tahun.
Contoh Kistadenoma;
Kistadenoma ovarii serosum.
Berasal dari epitel germinativum. Bentuk umunya unilokuler, bila multilokuler perlu dicurigai adanya keganasan. Kista ini dapat membesar, tetapi tidak sebesar kista musinosum.
Gambaran klinis pada kasus ini tidak klasik. Selain teraba massa intraabdominal, dapat timbul asites. Penatalaksanaan umumnya sama seperti Kistadenoma ovarii musinosum.
Kistadenoma ovarii musinosum.
Asal kista belum pasti. Menurut Meyer, kista ini berasal dari teratoma, pendapat lain mengemukakan kista ini berasal dari epitel germinatifum atau mempunyai asal yang sama dengan tumor Brener. Bentuk kista multilobuler, biasanya unilatelar dapat tumbuh menjadi sangat bersar.
Gambaran klinis terdapat perdarahan dalam kista dan perubahan degeneratif sehingga timbul pelekatan kista dengan omentum, usus dan peritoneum parietal. Selain itu, bisa terjadi ileus karena perlekatan dan produksi musin yang terus bertambah akibat pseudomiksoma peritonei.
Penatalaksanaan dengan pengangkatan kista tanpa pungsi terlebih dahulu dengan atau tanpa salpingo ooforektomi tergantung besarnya kista.

IV.ETIOLOGI
Factor yang menyebabkan gajala kista meliputi;
1.Gaya hidup tidak sehat.
Diantaranya;
1Konsumsi makanan yang tinggi lemak dan kurang serat
2.Zat tambahan pada makanan
3.Kurang olah raga
4.Merokok dan konsumsi alcohol
5.Terpapar denga polusi dan agen infeksius
6.Sering stress

2.Faktor genetic.
Dalam tubuh kita terdapat gen gen yang berpotensi memicu kanker, yaitu yang disebut protoonkogen, karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan yang bersifat karsinogen , polusi, atau terpapar zat kimia tertentu atau karena radiasi, protoonkogen ini dapat berubah menjadi onkogen, yaitu gen pemicu kanker.

V.TANDA DAN GEJALA
Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium tidak menimbulakan gejala dalam waktu yang lama. Gejala umumnya sangat berfariasi dan tidak spesifik.
Pada stadium awal gejalanya dapat berupa;
Gangguan haid
Jika sudah menekan rectum atau VU mungkin terjadi konstipasi atau sering berkemih.
Dapat terjadi peregangan atau penekanan daerah panggul yang menyebabkan nyeri spontan dan sakit diperut.

Nyeri saat bersenggama.
Pada stadium lanjut;
•Asites
•Penyebaran ke omentum (lemak perut) serta oran organ di dalam rongga perut (usus dan hati)
•Perut membuncit, kembung, mual, gangguan nafsu makan,
•Gangguan buang air besar dan kecil.
•Sesak nafas akibat penumpukan cairan di rongga dada.

VI.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Deteksi dini
Keterlambatan mendiagnosis kanker ovarium sering terjadi karena letak ovarium berada didalam rongga panggul sehingga tidak terlihat dari luar. Biasanya kanker ovarium ini di deteksi lewat pemeriksaan dalam. Bila kistanya sudah membesar maka akan terabab ada benjolan. Jika dokter menemukan kista, maka selanjutanya akan dilakukan USG untuk memastikan apakah ada tanda tanda kanker atau tidak.
Kemudian dibutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan mengambil jaringan (biopsy) untuk memastikan kista tersebut jinak atau ganas. Ini bisa dilakukan dengan laparskopi, melalui lubang kecil di perut. Pemeriksaan lainnya dengan CT Scan dan tumor marker dengan pemeriksaan darah.

VII.PENATALAKSANAAN
Penderita kanker ovarium stadium dini dapat ditangani dengan operasi yang kemudian dilanjutkan dengan terapi. Bila kanker ovarium telah memasuki stadium lanjut baru di lakukan kemoterapi atau radiasi.

1.Pengkajian.
Pengkajian umum kista:
Ada tidaknya keluhan nyeri diperut bagian bawah?
Ada tidaknya gangguan BAB dan BA?
Ada tidaknya asites?
Ada tidaknya perut membuncit?
Ada tidaknya gangguan nafsu makan?
Ada tidaknya kembung?
Ada tidaknya sesak nafas?

Pengkajian diagnostic kista:
•USG : Ada tidaknya benjolan berdiameter > 5 cm
•CT Scan: Ada tidaknya benjolan dan ukuran benjolan.
2.Nursing Care Plan

Diagnosa yang muncul
1.Gangguan harga diri berhubungan dengan masalah tentang ketidaknyamanan mempunyai anak, perubahan feminimitas dan efek hubungan seksual.
2.Disfungsi seksual, resiko tinggi terhadap kemungkinan pola respon seksual, contoh ketidaknyamanan / nyeri vagina.
3.Eliminasi urinarius, perubahan / retensi berhubungan dengan adanya edema pada jaringan local.
4.Nyeri berhubungan dengan prases penyakit (penekanan/kompresi) jaringan pada organ ruang abdomen
Jika diagnosa yang diambil adalah nyeri berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kompresi) jaringan pada organ ruang abdomen maka :

Tujuan.
Klien dapat mengontrol nyeri yang dirasakan/nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Kriteria hasil :
•Klien mengatakan nyeri hilang/berkurang .
•Ekspresi wajah rileks
•Klien dapat menggambarkan keadaan nyeri minimal atau tidak ada.
•Klien mampu melakukan teknik relaksasi dan distraksi saat nyeri timbul.
•Tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:
1.Identifikasi karakteristik nyeri dan tindakan penghilang nyeri
R : informasi memberikan data dasar untuk evaluasi kebutuhan /keefektifan intervensi.

2.Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung), hiburan dan lingkungan.
R : meningkatkan relaksasi dan membentu pasien focus kembali ke perhatian

3.Ajarkan teknik relaksasi
R : partisipasi pasien secara aktifdan meningkatkan rasa kontrol

4.Kembangkan rencana manajemen nyeri antara pasien dan dokter
R : mengembangkan kesempatan control nyeri

5.Berikan analgesic sesuai resep.
R : mengurangi nyeri




Daftar Pustaka
oDoenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC. 2000.

oMansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 2000.
ohttp://www.ibuhamil.com
ohttp://www.republika.co.id.
ohttp://www.suaramerdeka.com
ohttp://www.pdpersi.co.iD
o Joedoank.blogspot.com

kistoma ovarii

A. PENGERTIAN
Menurut (Winkjosastro, et. all, 1999) kistoma ovarii merupakan suatu tumor, baik yang kecil maupun yang besar, kistik atau padat, jinak atau ganas. Dalam kehamilan, tumor ovarium yang dijumpai yang paling sering ialah kista IIIptasi terhadap rasa nyeri.dermoid, kista coklat atau kista lutein. Tumor ovarium yang cukup besar dapat menyebabkan kelainan letak janin dalam rahim atau dapat menghalang-halangi masuknya kepala ke dalam panggul.

B. ETIOLOGI
Menurut etiologinya, kista ovarium dibagi menjadi dua (Ignativicius, Bayne, 1991), yaitu :
1.Kista non neoplasma, disebabkan karena ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, diantaranya adalah :
a.Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, berasal dari permukaan epitelium yang berkurang di dalam kortek.

b.Kista fungsional
Kista folikel, disebabkan karena folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Banyak terjadi pada wanita yang menarche kurang dari 12 tahun.
Kista korpus luteum, terjadi karena bertambahnya sekresi progesteron setelah ovulasi.
Kista tuka lutein, disebabkan karena meningkatnya kadar HCG terdapat pada mola hidatidosa.
Kista stein laventhal, disebabkan karena peningkatan kadar LH yang menyebabkan hiperstimulasi ovarium

2.Kista neoplasma (Wiknjosastro, et.all, 1999)
a.Kistoma ovarii simpleks. Adalah suatu jenis kistadenoma serosum yang kehilangan epitel kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista.
b.Kistadenoma ovarii musinosum. Asal kista ini belum pasti, mungkin berasal dari suatu teratoma yang pertumbuhannya satu elemen mengalahkan elemen yang lain.
c.Kistadenoma ovarii serosum. Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium).
d.Kista endometroid. Belum diketahui penyebabnya dan tidak ada hubungannya dengan endometrioid.
e.Kista dermoid. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.

C. PATOFISIOLOGI
1.Kista non neoplasma (Ignativicius, Bayne, 1991 )
a.Kista non fungsional
Kista serosa inklusi, di dalam kortek yang dalam timbul invaginasi dari permukaan epitelium yang berkurang. Biasanya tunggal atau multiple, berbentuk variabel dan terbatas pada cuboidal yang tipis, endometri atau epitelium tuba. Berukuran 1 cm sampai beberapa cm.

b.Kista fungsional
Kista folikel.
Kista dibentuk ketika folikel yang matang menjadi ruptur atau folikel yang tidak matang direabsorbsi cairan folikuler diantara siklus menstruasi. Bila ruptur menyebabkan nyeri akut pada pelvis. Evaluasi lebih lanjut dengan USG atau laparaskopi. Operasi dilakukan pada wanita sebelum pubertal, setelah menopause atau kista lebih dari 8 cm.

Kista korpus luteum.
Terjadi setelah ovulasi dikarenakan meningkatnya hormon progesteron. Ditandai dengan keterlambatan menstruasi atau menstruasi yang panjang, nyeri abdomen bawah atau pelvis. Jika ruptur pendarahan intraperitonial, terapinya adalah operasi oovorektomi.

Kista tuka lutein.
Ditemui pada kehamilan mola, terjadi pada 50 % dari semua kehamilan. Dibentuk sebagai hasil lamanya slimulasi ovarium dari berlebihnya HCG. Tindakannya adalah mengangkat mola.

Kista Stein Laventhal.
Disebabkan kadar LH yang berlebihan menyebabkan hiperstimulasi dari ovarium dengan produksi kista yang banyak. Hiperplasia endometrium atau koriokarsinoma dapat terjadi. Pengobatan dengan kontrasepsi oral untuk menekan produksi LH dan oovorektomi.

2.Kish neoplasma jinak (Wiknjosastro, et.all, 1999)
a.Kistoma ovarii simplek.
Kista ini bertangkai dan dapat menyebabkan torsi (putaran tangkai). Di duga kista ini adalah jenis kistadenoma serosum yang kehilangan kelenjarnya karena tekanan cairan dalam kista. Tindakannya adalah pengangkatan kista dengan reseksi ovarium.

b.Kistadenoma ovarii musinosum.
Asal tumor belum diketahui secara pasti, namun diduga berasal dari teratoma yang pertumbuhan satu elemen mengalahkan elemen yang lain, atau berasal dari epitel germinativum.

c.Kistadenoma ovarii serosum.
Berasal dari epitel permukaan ovarium (germinal ovarium). Bila kista terdapat implantasi pada peritonium disertai asites maka harus dianggap sebagai neoplasma yang ganas, dan 30% sampai 35% akan mengalami keganasan.

d.Kista Endometroid.
Kista biasanya unilateral dengan permukaan licin, pada dinding dalam terdapat satu lapisan sel-sel yang menyerupai lapisan epitel endometrium.

e.Kista Dermoid.
Adalah suatu teratoma kistik yang jinak dimana struktur¬struktur ektoderma dengan diferensiasi sempurna seperti epitel kulit, rambut, gigi dan produk glandula sebasea putih menyerupai lemak nampak lebih menonjol dari pada elemen-elemen ektoderm dan mesoderm. Tumor berasal dari sel telur melalui proses patogenesis.

D. PATHWAY (silahkan hubungi admin)

E. GAMBARAN KLINIS KISTADENOMA OVARII SEROSUM
Mayoritas penderita tumor ovarium tidak menunjukkan adanya gejala sampai periode waktu tertentu. Hal ini disebabkan perjalanan penyakit ovarium berlangsung secara tersembunyi sehingga diagnosis sering ditemukan pada waktu pasien dalam keadaan stadium lanjut. Sampai pada waktunya klien mengeluh adanya ketidakteraturan menstruasi, nyeri pada perut bawah, rasa sebah pada perut, dan timbul benjolan pada perut.
Pada umumnya kista jenis ini tak mempunyai ukuran yang amat besar dibandingkan dengan kistadenoma musinosum. Permukaan tumor biasanya licin, akan tetapi dapat pula berbagala karena kista ovariumpun dapat berbentuk multilokuler, meskipun lazimnya berongga satu. Warna kista putih keabu-abuan. Ciri khas kista ini adalah potensi pertumbuhan papiler ke dalam rongga kista sebesar 50 %; dan keluar pada permukaan kista sebesar 5 %. Isi kista cair kuning dan kadang-kadang coklat karena campuran darah. Tidak jarang kistanya sendiri kecil, tetapi permukaannya penuh dengan pertumbuhan papiler (solid papiloma).

F. PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Tanpa memandang bentuk, proses penyembuhan luka adalah sama, perbedaan terjadi menurut waktu pada tlap-tiap fase penyembuhan dan waktu granulasi jaringan. (Long, 1996), fase-fase penyembuhan luka antara lain :

I.Fase I
Pada fase ini leukosit mencerna bakteri dan jaringan rusak, terbentuk fibrin yang bertumpuk mengisi luka dari benang fibrin. Lapisan tipis dari sel epitel bermigrasi lewat luka dan membantu menutupi luka. Kekuatan luka rendah tapi luka dijahit akan menahan jahitan dengan baik. Setelah besar pasien akan merasa sakit pada fase ini dan berlangsung selama 3 hari.

II.Fase II
Berlangsung 3 sampai 14 hari setelah bedah, leukosit mulai menghilang dan ceruk mulai berisi kolagen serabut protein putih. Semua lapisan sel epitel beregenerasi dalam 1 minggu, jaringan ikat kemerahan karena banyak pembuluh darah. Tumpukan kolagen akan menunjang luka dengan baik dalam 6 sampai 7 hari, jadi jahitan diangkat pada fase ini, tergantung pada tempat dan luasnya bedah.

III.Fase III
Kolagen terus tertumpuk, hal ini menekan pembuluh darah baru dan arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang luas, terjadi pada minggu ke dua hingga enam post bedah, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang terkena.

IV.Fase IV
Berlangsung beberapa bulan setelah bedah, pasien akan mengeluh gatal di seputar luka, walau kolagen terus menimbun, pada waktu ini luka menciut dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur karena penciutan luka akan terjadi ceruk yang berlapis putih.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Laparaskopi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengetahui apakah sebuah tumor berasal dari ovarium atau tidak, dan untuk menentukan silat-sifat tumor itu.

2.Ultrasonografi
Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan letak dan batas tumor apakah tumor berasal dari uterus, ovarium, atau kandung kencing, apakah tumor kistik atau solid, dan dapatkah dibedakan pula antara cairan dalam rongga perut yang bebas dan yang tidak.

3.Foto Rontgen
Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan adanya hidrotoraks. Selanjutnya, pada kista dermoid kadang-kadang dapat dilihat gigi dalam tumor. Penggunaan foto rontgen pada pictogram intravena dan pemasukan bubur barium dalam colon disebut di atas.

4.Parasentesis
Telah disebut bahwa fungsi pada asites berguna menentukan sebab asites. Perlu diingatkan bahwa tindakan tersebut dapat mencemarkan cavum peritonei dengan kista bila dinding kista tertusuk. (Wiknjosastro, et.all, 1999)

H. PENATALAKSANAAN
Tindakan operasi pada tumor ovarium neoplastik yang tidak ganas ialah pengangkatan tumor dengan mengadakan reseksi pada bagian ovarium yang mengandung tumor. Akan tetapi jika tumornya besar atau ada komplikasi, perlu dilakukan pengangkatan ovarium, bisanya disertai dengan pengangkatan tuba (Salpingo-oovorektomi). (Wiknjosastro, et.all, 1999)
Asuhan post operatif merupakan hal yang berat karena keadaan yang mencakup keputusan untuk melakukan operasi, seperti hemorargi atau infeksi. Pengkajian dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda vital, asupan dan keluaran, rasa sakit dan insisi. Terapi intravena, antibiotik dan analgesik biasanya diresepkan. Intervensi mencakup tindakan pemberiaan rasa aman, perhatian terhadap eliminasi, penurunan rasa sakit dan pemenuhan kebutuhan emosional Ibu. (Hlamylton, 1995).
Efek anestesi umum. Mempengaruhi keadaan umum penderita, karena kesadaran menurun. Selain itu juga diperlukan monitor terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit, suara nafas dan usaha pernafasan, tanda-tanda infeksi saluran kemih, drainese urin dan perdarahan. Perawat juga harus mengajarkan bagaimana aktifitas pasien di rumah setelah pemulangan, berkendaraan mobil dianjurkan setelah satu minggu di rumah, tetapi tidak boleh mengendarai atau menyetir untuk 3-4 minggu, hindarkan mengangkat benda-benda yang berat karena aktifitas ini dapat menyebabkan kongesti darah di daerah pelvis, aktifitas seksual sebaiknya dalam 4-6 minggu setelah operasi, kontrol untuk evaluasi medis pasca bedah sesuai anjuran. (Long, 1996)

PROSES KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Yaitu suatu kegiatan mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan merupakan dasar untuk tindakan dan keputusan yang diambil pada tahap-tahap selanjutnya. Adapun pengkajiannya meliputi :
1.Biodata
Meliputi identitas pasien, identitas penanggung jawab dan identitas masuk.

2.Riwayat kesehatan
Meliputi keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga dan riwayat sosial ekonomi.

3.Status Obstetrikus, meliputi :
o Menstruasi : menarche, lama, siklus, jumlah, warna dan bau
o Riwayat perkawinan : berapa kali menikah, usia perkawinan
o Riwayat persalinan
o Riwayat KB

4.Pengkajian pasca operasi rutin, menurut (Ingram, Barbara, 1999)
o Kaji tingkat kesadaran
o Ukur tanda-tanda vital
o Auskultasi bunyi nafas
o Kaji turgor kulit
oPengkajian abdomen
 Inspeksi ukuran dan kontur abdomen
 Auskultasi bising usus
 Palpasi terhadap nyeri tekan dan massa
 Tanyakan tentang perubahan pola defekasi
 Kaji status balutan
o Kaji terhadap nyeri atau mual
o Kaji status alat intrusif
o Palpasi nadi pedalis secara bilateral
o Evaluasi kembajinya reflek gag
o Periksa laporan operasi terhadap tipe anestesi yang diberikan dan lamanya waktu di bawah anestesi.
o Kaji status psikologis pasien setelah operasi
5. Data penunjang
o Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan darah lengkap (NB, HT, SDP)
o Terapi : terapi yang diberikan pada post operasi baik injeksi maupun peroral

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN dan FOKUS INTERVENSI
I.Resiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 2001)
oTujuan : Tidak terjadi aspirasi yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
oKriteria hasil : Tidak mengalami aspirasi, pasien dapat mengungkapkan tindakan untuk menghindari aspirasi.
oIntervensi :
 Pertahankan posisi baring miring jika tidak ada kontra indikasi karena cidera.
 Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak (jatuh kebelakang, menyumbat jalan nafas).
 Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi, jika tidak ada kontra indikasi.
 Bersihkan sekresi dari mulut dan tenggorok dengan tissu atau penghisap dengan perlahan-lahan.
 Kaji kembali dengan sering adanya obstruksi benda-benda dalam mulut dan tenggorok.

II.Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran (Carpenito, 1995)
oTujuan : Tidak terjadi injuri yang berhubungan dengan penurunan kesadaran.
oKriteria hasil : GCS normal (E4, V5, M6)
oIntervensi :
 Gunakan tempat tidur yang rendah dengan pagar pengaman yang terpasang.
 Jauhkan benda-benda yang dapat melukai pasien dan anjurkan keluarga untuk menemani pasien.

III. Gangguan rasa nyaman : nyeri abdomen berhubungan dengan insisi pada abdomen (Long,1996)
o Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
o Kriteria hasil : skala nyeri 0, pasien mengungkapkan berkurangnya rasa nyeri, tanda-tanda vital normal.
o Intervensi :
 Jelaskan penyebab nyeri pada pasien.
 Kaji skala nyeri pasien.
 Ajarkan tehnik distraksi selama nyeri.
 Berikan individu kesempatan untuk istirahat yang cukup.
 Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik sesuai program dokter.
 30 menit setelah pemberian obat pengurang rasa sakit, evaluasi kembali efektifitasnya.

IV.Resiko infeksi berhubungan dengan invasi kuman sekunder terhadap pembedahan (Carpenito, 1995)
oTujuan : Tidak terjadi infeksi.
oKriteria hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi (TTV normal, tidak ada peningkatan leukosit).
oIntervensi :
 Kaji tanda-tanda infeksi dan monitor TTV
 Gunakan tehnik antiseptik dalam merawat pasien
 Isolasikan dan instruksikan individu dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum mendekati pasien
 Tingkatkan asupan makanan yang bergizi
 Berikan terapi antibiotik sesuai program dokter

V.Resiko konstipasi berhubungan dengan pembedahan abdominal (Doenges, 2000)
oTujuan : Tidak terjadi konstipasi
oKriteria hasil : Peristaltik usus normal (5-35 kali per menit), pasien akan menunjukkan pola climinasi biasanya.
oIntervensi :
 Monitor peristaltik usus, karakteristik feses dan frekuensinya
 Dorong pemasukan cairan adekuat, termasuk sari buah bila pemasukan peroral dimulai.
 Bantu pasien untuk duduk pada tepi tempat tidur dan berjalan.

VI.Gangguan pemenuhan kebutuhan diri (mandi, makan, minum, bak, bab berpakaian) berhubungan dengan keletihan pasca operatif dan nyeri (Carpenito,2001)
oTujuan : Kebersihan diri pasien terpenuhi
oKriteria hasil : Pasien dapat berpartisipasi secara fisik Imaupun verbal dalam aktifitas pemenuhan kebutuhan dirinya
oIntervensi :
 Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaa4i tentang kurangnya kemampuan perawatan diri dan berikan bantun dalam mernenuhi kebutuhan pasien.
 Berikan pujian alas kemampuan pasien dan mclibatkan keluarga dalam perawatan pasien.

VII.Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi (Doenges, 2000)
oTujuan : Pasien mengetahui tentang efek sawing dari operasinya.
oKriteria hasil : Pasien menyatakan memahami tentang kondisinya.
oIntervensi :
 Tinjau ulang efek prosedur pembedahan dan harapan pada masa dating.
 Diskusikan dengan lengkap masalah yang diantisipasi selama masa penyembuhan.
 Diskusikan melakukan kembali aktifitas
 Identifikasi keterbatasan individu
 Kaji anjuran untuk memulai koitus seksual
 Identifikasi kebutuhan diet
 Dorong minum obat yang diberikan secara rutin
 Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medis.

Selasa, 28 September 2010

ASUHAN KEPERAWATAN HEPATITIS

A. DEFINISI
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)

B. ETIOLOGI
1. Virus
Type A Type B Type C Type D Type E
Metode transmisi Fekal-oral melalui orang lain Parenteral seksual, perinatal Parenteral jarang seksual, orang ke orang, perinatal Parenteral perinatal, memerlukan koinfeksi dengan type B
Fekal-oral
Keparah-an Tak ikterik dan asimto- matik Parah Menyebar luas, dapat berkem-bang sampai kronis Peningkatan insiden kronis dan gagal hepar akut
Sama dengan D
Sumber virus Darah, feces, saliva Darah, saliva, semen, sekresi vagina Terutama melalui darah Melalui darah Darah, feces, saliva

2. Alkohol
Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.

3. Obat-obatan
Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut.

C. TANDA DAN GEJALA
1. Masa tunas
Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
2. Fase Pre Ikterik
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
3. Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.

D. PATOFOSIOLOGI
Patways terlampir.
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.


E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan pigmen
- urobilirubin direk
- bilirubun serum total
- bilirubin urine
- urobilinogen urine
- urobilinogen feses
b. Pemeriksaan protein
- protein totel serum
- albumin serum
- globulin serum
- HbsAG
c. Waktu protombin
- respon waktu protombin terhadap vitamin K
d. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase
- AST atau SGOT
- ALT atau SGPT
- LDH
- Amonia serum
2. Radiologi
- foto rontgen abdomen
- pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif
- kolestogram dan kalangiogram
- arteriografi pembuluh darah seliaka
3. Pemeriksaan tambahan
- laparoskopi
- biopsi hati

F. KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.


ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati
1. Aktivitas
 Kelemahan
 Kelelahan
 Malaise

2. Sirkulasi
 Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
 Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
3. Eliminasi
 Urine gelap
 Diare feses warna tanah liat
4. Makanan dan Cairan
 Anoreksia
 Berat badan menurun
 Mual dan muntah
 Peningkatan oedema
 Asites
5. Neurosensori
 Peka terhadap rangsang
 Cenderung tidur
 Letargi
 Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
 Kram abdomen
 Nyeri tekan pada kuadran kanan
 Mialgia
 Atralgia
 Sakit kepala
 Gatal ( pruritus )

7. Keamanan
 Demam
 Urtikaria
 Lesi makulopopuler
 Eritema
 Splenomegali
 Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
 Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus

G. INTERVENSI
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
a. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
R/ keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan
b. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering
R/ adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya.
c. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
R/ akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.
d. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
R/ menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan
e. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
R/ glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.

2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
Hasil yang diharapkan :
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)
a. Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri
R/ nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.
b. Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
- Akui adanya nyeri
- Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya
R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia mengalami nyeri
c. Berikan informasi akurat dan
- Jelaskan penyebab nyeri
- Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui
R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan kurang/tidak terdapat penjelasan)
d. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi
R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.

3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar.
Hasil yang diharapkan :
Tidak terjadi peningkatan suhu
a. Monitor tanda vital : suhu badan
R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi
b. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.
R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi



c. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan
d. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.

4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
a. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu
R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang
b. Sarankan klien untuk tirah baring
R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit.
c. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat
R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting
d. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan
R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keletihan
e. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi)
R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis


5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
Hasil yang diharapkan :
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
a. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
- Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)
- Keringkan kulit, jaringan digosok
R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf
b. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas melalui vasodilatasi
c. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus
d. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan

6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.
Hasil yang diharapkan :
Pola nafas adekuat
Intervensi :
a. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan
R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen

b. Auskultasi bunyi nafas tambahan
R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan
c. Berikan posisi semi fowler
R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran sekret
d. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif
R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak
e. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia

7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus
Hasil yang diharapkan :
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
a. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk menangani semua cairan tubuh
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen
- Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh
- Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun
R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis
b. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang terkontaminasi
R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan mencegah transmisi penyakit
c. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi
d. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang tepat
R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan kemungkinan orang lain terinfeksi





DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.
Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.
Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI, jakarta.

ASKEP JANTUNG REMATIK (PJR) PADA ANAK

TINJAUAN TEORI
Defenisi
Penyakit jantung rematik merupakan gejala sisa dari Demam Rematik (DR) akut yang juga merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia.

Etiologi
Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang.
Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain :
1. Terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga
2. Umur
DR sering terjadi antara umur 5 – 15 tahun dan jarang pada umur kurang dari 2 tahun.
3. Kedaan social
Sering terjadi pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang, perumahan buruk dengan penghuni yang padat serta udara yang lembab, dan gizi serta kesehatan yang kurang baik.
4. Musim
Di Negara-negara dengan 4 musim, terdapat insiden yang tinggi pada akhir musim dingin dan permulaan semi (Maret-Mei) sedangkan insiden paling rendah pada bulan Agustus – September.
5. Dsitribusi daerah
6. Serangan demam rematik sebelumnya.
Serangan ulang DR sesudah adanya reinfeksi dgn Streptococcus beta hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah mendapat DR.

Patofisiologi
Menurut hipotesa Kaplan dkk (1960) dan Zabriskie (1966), DR terjadi karena terdapatnya proses autoimun atau antigenic similarity antara jaringan tubuh manusia dan antigen somatic streptococcus. Apabila tubuh terinfeksi oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A maka terhadap antigen asing ini segera terbentuk reaksi imunologik yaitu antibody. Karena sifat antigen ini sama maka antibody tersebut akan menyerang juga komponen jaringan tubuh dalam hal ini sarcolemma myocardial dengan akibat terdapatnya antibody terhadap jaringan jantung dalam serum penderiat DR dan jaringan myocard yang rusak. Salah satu toxin yang mungkin berperanan dalam kejadian DR ialah stretolysin titer 0, suatu produk extraseluler Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang dikenal bersifat toxik terhadap jaringan myocard.
Beberapa di antara berbagai antigen somatic streptococcal menetap untuk waktu singkat dan yang lain lagi untuk waktu yang cukup lama. Serum imunologlobulin akan meningkat pada penderita sesudah mendapat radang streptococcal terutama Ig G dan A.

Manifestasi Klinik
Dihubungkan dengan diagnosis, manifestasi klinik pada DR akut dibedakan atas manifestasi mayor dan minor.
a. Manifestasi Mayor
Karditis. Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium, miokardium, dan pericardium. Gejala awal adalah rasa lelah, pucat, dan anoreksia. Tanda klinis karditis meliputi takikardi, disritmia, bising patologis, adanya kardiomegali secara radiology yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung, dan tanda perikarditis.
Artritis. Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot wajah dan ektremitas.
Eritema marginatum. Eritema marginatum ditemukan pada lebih kurang 5% pasien. Tidak gatal, macular, dengan tepi eritema yang menjalar mengelilingi kulit yang tampak normal.tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, serta tidak melibatkan wajah.
Nodulus subkutan. Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 – 2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.
b. Manifestasi Minor
Manifestasi minor pada demam reumatik akut dapat berupa demam bersifat remiten, antralgia, nyeri abdomen, anoreksia, nausea, dan muntah.
Pemeriksaan Diagnostik/peninjang
a. Pemeriksaan darah
 LED tinggi sekali
 Lekositosis
 Nilai hemoglobin dapat rendah
b. Pemeriksaan bakteriologi
 Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
 Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase.
c. Pemeriksaan radiologi
Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan jantung.
Diagnosis
Diagnosis demam reumatik akut ditegakkan berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi. Karena patologis bergantung pada manifestasi klinis maka pada diagnosis harus disebut manifestasi kliniknya, misalnya demam rematik dengan poliatritis saja. Adanya dua kriteria mayor, atau satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam rematik akut, jika didukung oleh bukti adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya.
Komplikasi

a. Dekompensasi Cordis
Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut.
Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.

b. Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.
Pengobatan/penatalaksanaan
Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus beta-hemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada radang tersebut. Ini dapat berupa :
a. Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A
Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan dengan pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi terhadap penicillin.
b. Obat anti rematik
Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna untuk mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR.
c. Diet
Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin.
d. Istirahat
Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung mengecil pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada kasus DR minus carditis. Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3 minggu – 3 bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta kemajuan perjalanan penyakit.
e. Obat-obat Lain
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan largactil dan lain-lain.

KONSEP KEPERAWATAN
Pengkajian
 Lakukan pengkajian fisik rutin
 Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai bukti-bukti infeksi streptokokus antesenden.
 Observasi adanya manifestasi demam rematik.

Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
4. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.

Rencana Keperawatan
1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium
Tujuan : Pasien dapat menunjukkan perbaikan curah jantung.
Intervensi & Rasional
 Beri digoksin sesuai instruksi, dengan menggunakan kewaspadaan yang sudah ditentukan untuk mencegah toksisitas.
 Kaji tanda- tanda toksisitas digoksin (mual, muntah, anoreksia, bradikardia, disritmia)
 Seringkali diambil strip irama EKG
 Jamin masukan kalium yang adekuat
 Observasi adanya tanda-tanda hipokalemia
 Beri obat-obatan untuk menurunkan afterload sesuai instruksi dapat meningkatkan curah jantung
 Untuk mencegah terjadinya toksisitas
 Mengkaji status jantung
 Penurunan kadar kalium serum akan meningkatkan toksisitas digoksin

2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit.
Tujuan : Suhu tubuh normal (36 – 37’ C)
Intervensi & Rasional
 Kaji saat timbulnya demam
 Observasi tanda-tanda vital : suhu, nadi, TD, pernafasan setiap 3 jam
 Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh
 Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang hal-hal yang dilakukan
 Jelaskan pentingnya tirah baring bagi klien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan
 Anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2,5 – 3 liter/hari dan jelaskan manfaatnya
 Berikan kompres hangat dan anjurkan memakai pakaian tipis
 Berikan antipiretik sesuai dengan instruksi Dapat diidentifikasi pola/tingkat demam
 Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadan umum klien
 Penjelasan tentang kondisi yang dilami klien dapat membantu mengurangi kecemasan klien dan keluarga
 Untuk mengatasi demam dan menganjurkan klien dan keluarga untuk lebih kooperatif
 Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan klien di RS
Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
 Kompres akan dapat membantu menurunkan suhu tubuh, pakaian tipis akan dapat membantu meningkatkan penguapan panas tubuh
Antipiretika yang mempunyai reseptor di hypothalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga suhu tubuh diupayakan mendekati suhu normal

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan yang telah disediakan.
Intervensi Rasional
 Kaji faktor-faktor penyebab
 Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup
 Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering, jika tidak muntah teruskan
 Lakukan perawatan mulut yang baik setelah muntah
 Ukur BB setiap hari
 Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien
 Penentuan factor penyebab, akan menentukan intervensi/ tindakan selanjutnya
 Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga sehingga klien termotivasi untuk mengkonsumsi makanan
 Menghindari mual dan muntah dan distensi perut yang berlebihan
 Bau yang tidak enak pada mulut meningkatkan kemungkinan muntah
 BB merupakan indikator terpenuhi tidaknya kebutuhan nutrisi
 Mengetahui jumlah asupan / pemenuhan nutrisi klien
4. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Intervensi Rasional
Kaji tingkat nyeri yang dialami klien dengan memberi rentang nyeri (1-10), tetapkan tipe nyeri dan respon pasien terhadap nyeri yang dialami
 Kaji factor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri
 Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang
 Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasian dari rasa nyeri (libatkan keluarga)
 Berikan kesempatan pada klien untuk berkomunikasi dengan teman/ orang terdekat
 Berikan obat-obat analgetik sesuai instruksi Untuk mengetahui berapa tingkat nyeri yang dialami
Reaksi pasien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai factor begitupun juga respon individu terhadap nyeri berbeda dab bervariasi
 Mengurangi rangsang nyeri akibat stimulus eksternal
 Dengan melakukan aktifitas lain, klien dapat sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami
Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat/teman membuat pasien gembira / bahagia dan dapaty mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri
 Mengurangi nyeri dengan efek farmakologik



DAFTAR PUSTAKA
Arief Mansjoer,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Penerbit Media
Aesculapius FKUI. Jakarta.
Smeltzer Bare, dkk. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.

Minggu, 26 September 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATUS DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (RDS)

1.1 DEFINISI
Adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA (Stark,1986).
Sindrom distres pernafasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai Hyaline Membrane Disesae (Suryadi dan Yuliani, 2001).
2.2 PATOFISIOLOGI
Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan adalah zat aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe II. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan mencapai max pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada sisa akhir expirasi. Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menyebabkan terjadinya :
1. Oksigenasi jaringan menurun>metabolisme anerobik dengan penimbunan asam laktat asam organic>asidosis metabolic.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris>transudasi kedalam alveoli>terbentuk fibrin>fibrin dan jaringan epitel yang nekrotik>lapisan membrane hialin.
Asidosis dan atelektasis akan menyebabkan terganggunya jantun, penurunan aliran darah keparum, dan mengakibatkan hambatan pembentukan surfaktan, yang menyebabkan terjadinya atelektasis.
Sel tipe II ini sangat sensitive dan berkurang pada bayi dengan asfiksia pada periode perinatal, dan kematangannya dipacu dengan adanya stress intrauterine seperti hipertensi, IUGR dan kehamilan kembar.
2.2.1 Pathway
3.3 GAMBARAN KLINIS
RDS mungkin terjadi pada bayi premature dengan berat badan 15 %.
 Muntah (-)
 Bayi dapat minum dengan baik 7. Observasi intake dan output.
8. Observasi reflek menghisap dan menelan bayi.
9. Kaji adanya sianosis pada saat bayi minum.
10. Pasang NGT bila diperlukan
11. Beri nutrisi sesuai kebutuhan bayi.
12. Timbang BB tiap hari.
13. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian therapy.
14. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diit bayi
4. Kecemasan Ortu b.d kurang pengetahuan tentang kondisi bayinya. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….Kecemasan berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
 Orang tua mengerti tujuan yang dilakukan dalam pengobatan therapy.
 Orang tua tampak tenang.
 Orang tua berpartisipasi dalam pengobatan. 1. Jelaskan tentang kondisi bayi.
2. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan penjelasan tentang penyakit dan tindakan yang akan dilakukan berkaitan dengan penyakit yang diderita bayi.
3. Libatkan orang tua dalam perawatan bayi.
4. Berikan support mental.
5. Berikan reinforcement atas pengertian orang tua.
5. Resiko infeksi tali pusat b.d invasi kuman patogen. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama..Infeksi tali pusat tidak terjadi.
Kriteria hasil :
 Suhu 36-37 C
 Tali pusat kering dan tidak berbau.
 Tidak ada tanda-tanda infeksi pada tali pusat. 1. Lakukan tehnik aseptic dan antiseptic pada saat memotong tali pusat.
2. Jaga kebersihan daerah tali pusat dan sekitarnya.
3. Mandikan bayi dengan air bersih dan hangat.
4. Observasi adanya perdarahan pada tali pusat.
5. Cuci tali pusat dengan sabun dan segera keringkan bila tali pusat kotor atau terkena feses.
6. Observasi suhu bayi.
6. Devisit volume cairan b.d metabolisme yang meningkat. Volume cairan terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
 Suhu 36-37 C
 Nadi 120-140 x/mnt
 Turgor kulit baik. 1. Observasi suhu dan nadi.
2. Berikan cairan sesuai kebutuhan.
3. Observasi tetesan infus.
4. Observasi adanya tanda-tanda dehidrasi atau overhidrasi.
5. Kolaborasi pemberian therapy.
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. Identitas
1. Identitas Bayi
Nama bayi : By. C
Jenis Kedlamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 09 November 2008
Berat Badan Lahir : 2400 gram
APGAR : 4 – 6
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama Ibu : Ny.C Nama Ayah : Tn. D
Umur ibu : 34 tahun Umur ayah : 39 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Jenis Kelamin : Laki- laki
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : POLRI
Alamat : Perumnas Gria Intan
B. Keluhan Utama
Klien sesak nafas disertai dengan sianosis pada ektrimitas pada saat lahir.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi datang diantar keluarga pukul 13.45 WIB, ibu melahirkan di bidan Ny. Hj. I. Bayi lahir pada tanggal 09 November 2008 pukul 16.00 WIB, bayi sianosis,retraksi dinding dada berlebihan, nafas 78 x/ menit, disertai badan panas suhu tubuh 37.7 o C.
D. Riwayat Persalinan
Ibu klien melahirkan di bidan dengan partus normal, usia kehamilan 29 minngu dan ststus kehamilan G3 P3 Ao, ketuban jernih, ketuban pecah dini tidak terjadi. Lama persalinan 2 jam dari pembukaan I sampai keluarnya janin.
E. Riwayat Perinatal (ANC)
Jumlah kunjungan : 2 x
Bidan/Dokter ; Bidan 1x dan dokter 1x
HPHT ; Tidak diketahui, kehamilan baru diketahui pada saat kehamilan 16 minggu, karena pada saat kehamilan masih keluar darah sedikit tiap bulan sampai usia tiga bulan
Kenaikan berat badan : 10 kg
Obat-obatan : Obat penambah darah, imunisasi TT 1 x.
Kehamilan direncanakan: Tidak direncanakan
Status Kehamilan : G3 P3 Ao
F. Pengkajian Fisik
a. Refleks
1. Refleks moro
Refleks moro adalah reflek memeluk pada saat bayi dikejutkan dengan tangan. Pada By. C reflek moro (+) ditandai dengan ketika dikejutkan oleh bunyi yang keras dan tiba – tiba bayi beraksi dengan mengulurkan tangan dan tungkainya serta memanjangkan lehernya.
2. Refleks menggenggam
Reflek menggenggam pada By. C (+) tapi lemah, ditandai dengan membelai telapak tangan, bayi menggenggam tangan gerakan tangan lemah.
3. Refleks menghisap
Reflek menghisap (+) ditandai dengan meletakan tangan pada mulut bayi, bayi menghisap jari, hisapan lemah.
4. Refleks rooting
Reflek rooting (-) ditandai dengan bayi tidak menoleh saat tangan ditempelkan di pipi bayi.
5. Refleks babynsky
Reflek babynsky (+) ditandai dengan menggerakan ujung hammer pada bilateral telapak kaki.
b. Tonus otot
Gerakan bayi sangat lemah tetapi pergerakan bayi aktif ditandai dengan bayi sering menggerek-gerakan tangan dan kakinya.
c. Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Letargi
Lingkar kepala : 33 Cm
Lingkar dada : 30 Cm
Panjang badan : 45 Cm
Berat badan : 2400 Gram
Suhu : 37,1 oC
Respiratory : 78 x/menit
Nadi : 154 x/menit
d. Kepala
Bentuk kepala Normochepal, lingkar kepala 33 cm, pertumbuhan rambut merata, tidak ada lesi, tidak ada benjolan, fontanel anterior masih lunak, sutura sagital datar dan teraba, gambaran wajah simetris terdapat larugo disekitar wajah dan badan.
e. Mata
Mata simetris, tidak ada pembengkakan pada kelopak mata, mata bersih tidak terdapat sekret, mata bisa mengedip, bulu mata tumbuh, reflek kornea (+) reflek terhadap sentuhan, reflek pupil (+) respon terhadap cahaya, replek kedip (+)
f. Telinga
Letak telinga kanan dan kiri simetris, lubang telinga bersih, tidak terdapat serumen, tidak ada lesi, bentuk telinga baik, lunak dan mudah membalik, ( Cartilago car ) baik, terdapat rambut larugo.
g. Hidung
Hidung bentuk simetris, terpasang O2 binasal 2 liter/menit, keadaan hidung bersih tidak terdapat peradangan atau pembengkakan hidung, pernafasan cuping hidung (PCH) (+).
h. Mulut
Bentuk bibir simetris, bibir terdapat bercak putih pada membran mukosa, Stomatitis (-), refleks hisap (+),reflek rooting (-).
i. Dada dan Paru-paru
Dada simetris ( Sama antara kiri dan kanan ), bentuk dada menonjol, PX terlihat jelas, bentuk dada burung ( pektus karinatum) pergerakan dada sama antara dada kiri dan kanan, retraksi dinding dada (+), retraksi dinding epigastrium (+), frekuensi nafas 78 x/menit, mamae bentuk datar, suara nafas rales (+)
j. Jantung
Nadi apikal 154 x/menit, bunyi jantung reguler BT1 + BT2, palapasi nadi brakhialis (+) lemah, radialis (+) lemah, femoralis lemah dan nadi karotis (+)
k. Abdoment
Bentuk abdomen dan cekung pada bagian px, bising usus dapat terdengar 4x/menit, tali pusay belum putus, keadaan kering, tidak terdapat kemerahan, tidak terdapat haluaran nanah, perut diraba lunak, lingkar perut 38 cm tidak ada pembengkakan hepar.
l. Genitalia
Lubang penis terdapat di gland penis, kedua testis dapat teraba pada scrorum.
m. Anus
Anus paten, ditandai dengan bayi sudah BAB, mekonium sudah keluar berwarna hitam dan lembek
n. Punggung
Terdapat banyak rambut larugo, bentuk simetris, tidak terdapat ruam kemerahan atau rush.
o. Ekstrimitas
Ekstrimitas dapat bergerak bebas, ujung jari merah muda/tidak sianosis, CRT dalam waktu 2 detik, jumlah jari komplit, kaki sama panjang, lipatan paha kanan dan kiri simetris, pergerakan aktif
p. Kulit
Warna kulit merah seluruh tubuh, sianosis (-), tidak terdapat tanda lahir, Skin Rush (-), Ikterik (-), turgor kulit jelek, kulit longgar disebabkan karena lemak subkutan berkurang, terdapat larugo.
q. Eliminasi
Eliminasi BAK 6-8 x/hari, BAB 2-4 x/hari
r. Suhu
Suhu tubuh 37,1 oC, Setting Inkubator 32 oC
G. Hubungan Psikososial Orang tua dengan Bayi
a. Budaya
Keluarga klien memiliki budaya sunda, akan tetapi bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa indonesia. Ibu klien pada saat masa kehamilan dan setelah melahirkan tadak ada suatu pantanganan yang dilakukan ibu klien.
b. Agama
Agama yang dianut keluarga klien yaitu agama islam, ibu klien selalu melaksanakan shalat dan berdo’a bagi kesembuhan anaknya.
c. Psikologis
Psikologis ibu klien sangat labil dikarenakan kondisi yang dialami anaknya saat ini, dia selalu menangis hal itu dapat terlihat pada saat ibu klien datang ke RS untuk menjenguk anakanya.
H. Hubungan Orang tua dengan Bayi
Tingkah laku Ibu Anak
Menyentuh
Memeluk
Berbicara
Berkunjung
Memanggil nama
Kontak mata -
-



√ -
-
-

-
-
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium 11 November 2008
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal
Hematologi
 WBC
 RBC
 HGB
 HCT
 PLT
20,4 ……………….
5,91 106/mm3
16,6 L
49,5 L
337 103/mm3
Photo Thorax 11 November 2008
Gambaran :
Cor : besar dan bentuk baik
Pulmo : Infiltrat di perikardia bilateral dengan gambaran air Bronchogram
Air diafraghma baik
Hasil : HMD grade II
J. Therapy
Aminoppillin 2 x 0,2 cc/hari
Ulcumet 2 x 0,15 cc/hari
K. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Masalah
1 Ds : -
Do :
 RR 78 x/menit
 Retraksi dinding dada (+)
 Retraksi dinding efigastrium (+)
 bayi tampak lemah Surfaktan menurun
Fungsi paru menurun
Atelaksasis
Menurunnya ventilator
Co2 meningkat
Perfusi perifer jaringan
Sulfaktan menurun
Gangguan pola nafas
2 Ds : -
Do :
 Reflek hisap lemah
 Retensi lambung 0,5cc
 Bayi puasa.
 Bising usus 4x/mnt
 Bayi tampak lemah Reflek bayi lemah
Bayi puasa
Kebutuhan nutrisi dibatasi
Kebutuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
Gangguan kebutuhan nutrisi
3 Ds : -
Do :
 Turgor kulit jelek
 Pada bibir terdapat keputihan pd mukosa bibir
 Bayi sering BAK
 Bayi terpasang infus Reflek bayi lemah
Bayi puasa
Kebutuhan cairan dibatasi
BAB dan Bak sering
Kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan
4 Ds : -
Do :
 Suhu bayi 37,10 C
 Bayi didalam inkubator dengan suhu 320 C
 Bayi tidak menggunakan baju Lapisan lemak subkutan
berkurang matabolisme menurun
Bayi tidak bisa memproduksi panas tubuh sesuai kebutuhan
Panas tubuh mudah hilang
Resiko tinggi hipotermi
Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi
5 Ds : ibu klien mengatakan kapan anaknya bisa pulang.
Do :
 Ibu tampak cemas
 Ibu menangis Anak sakit
Hospitalisasi
Kurangnya pengetahuan
cemas Gangguan rasa aman cemas
L. DIAGNOSA KEPERAWAT
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan belum terbentuknya zat sulfaktan dalam tubuh
2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
3. Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan seringnya BAB dan BAK
4. Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit.
5. Kecemasan ortu berhubungan dengan kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi
M. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI NEONATUS DENGAN RDS
Nama : By. C No Medrek : 561148
Umur : 10 Hari Diagnosa : RDS
No Diagnosa Keperawatan Tujuan intervensi Rasional
1
2
3
4
5 Gangguan pola nafas berhubungan dengan belum terbentuknya zat sulfaktan dalam tubuh. Ditandai dengan :
Ds : -
Do :
 RR 78 x/menit
 Retraksi dinding dada (+)
 Retraksi dinding efigastrium (+)
 bayi tampak lemah
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. Ditandai dengan :
Ds : -
Do :
 Reflek hisap lemah
 Retensi lambung 0,5 cc
 Bayi puasa.
 Bising usus 4x/mnt
 Bayi tampak lemah
Resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan seringnya BAB dan BAK. Ditandai dengan :
Ds : -
Do :
 Turgor kulit jelek
 Pada bibir terdapat keputihan pd mukosa bibir
 Bayi sering BAK
 Bayi terpasang infus
Resiko tinggi gangguan termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan belum terbentuknya lapisan lemak pada kulit. Ditandai dengan :
Ds : -
Do :
 Suhu bayi 37,10 C
 Bayi didalam inkubator dengan suhu 320 C
 Bayi tidak menggunakan baju
Kecemasan ortu berhubungan dengan kurang pengetahuan ortu tentang kondisi bayi. Ditandai dengan :
Ds :
Ibu klien mengatakan kapan anaknya bisa pulang.
Do :
 Ibu tampak cemas
 Ibu menangis Tupan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan pola nafas dapat teratasi
Tupen :
 RR 60 x/menit
 Sesak (-)
 Sianosis (-)
 Retraksi dinding dada (-)
 Reaksi diafragma (-)
Tupan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Tupen :
 Reflek hisap (+)
 Retensi lambung (-)
 Bayi puasa.
 Bising usus 8x/mnt
Tupan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan resiko tinggi gangguan kebutuhan cairan tidak terjadi.
Tupen :
Tupan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh tetap normal.
Tupen
 Suhu 37 oC
 Bayi tidak kedinginan
Tupan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan cemas keluarga klien berkurang
Tupen
 Ibu tidak menangis
 Mimik verbal tidak cemas  Observasi pola nafas
 Observasi TTV
 Monitor SPO2
 Atur posisi semi ekstensi
 Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
 Atur suhu dalam inkubator
 Berikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan
 Kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator
 Pertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10%
 Kaji kesiapan bayi untuk minum
 Retensi cairan lambung
 Berikan minum sesuai jadwal
 Timbang BB
 Kaji turgor kulit
 Pertahankan pemberian cairan IVFD
 Beri minum sesuai jadwal
 Pantau frekuensi BAB + BAK
 Tempatkan bayi pada tempat yang hangat
 Atur suhu inkubator
 Pantau suhu tubuh setiap 2 jam
 Kaji tingkat kecemasan
 Berikan penjelasan tentang keadaan klien saat ini
 Berikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan
 Anjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya  Mengetahui frekuensi nafas
 Mengetahui keadaan umum bayi
 Mengetahui kadar O2 dalam darah
 Memudahkan paru-paru mengembang saat ekspansi
 Mempertahankan suhu tubuh
 Membantu memenuhi suplai O2
 Membantu kemudahan dalam bernafas
 Obat Bronchodilator berfungsi untuk membuka broncus guna memudahkan dalam pertukaran udara
 Mempertahankan kebutuhan cairan dalam tubuh
 Mengetahui reflek hirup
 Mengetahui cairan lambung dan konsistensinya
 Memberikan cairan tambahan melalui oral
 Mengetahui status nutrisi
 Mengetahui tanda dehidrasi
 Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
 Untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan
 Untuk mengetahui out put tubuh
 Mencegah terjadinya hipotermi
 Menjaga kestabilan suhu tubuh
 Memonitor perkembangan suhu tubuh bayi
 Mengetahui koping individu
 Meningkatkan pengetahuan orang tua
 Membina hubungan saling percaya
N. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No DX Tgl / hari Implementasi keperawatan Respon hasil
I Selasa
11 Nov 2008
Pukul 14.00 WIB 1. Mengobservasi pola nafas
2. Mengobsevasi TTV
3. Memonitor SPO2
4. Mengatur posisi semi ekstensi
5. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat
6. Mengatur suhu dalam inkubator
7. Memberikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan
8. Melakukan kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator
1. R: klien menangis
H: retraksi dinding dada berlebihan Respirasi : 78 x/menit
2. R : Klien Tampak lemah
H : Suhu: 37. 1 o C
Nadi: 154 x/menit
Respirasi : 78x/menit
3. R : Klien menangis
H : SpO2: 98%
4. R : klien tertidur
H : Posisi kepala semi
ektensi.
5. R : klien tampaklemah
H : lien berada dalam
inkubator
6. R : Suhu inkubator 35 0C
H.: Suhu Bayi 37.1 0C
7. R : Klien menangis pada
saat selang O2
dipasang
H : O2 telah dipasang 1
liter/menit
8. R : Klien menangis kuat
H : Obat bronkodilator
telah diinjek melalui
IV Aminopilin
2 x 0.2cc.
II Selasa 11 November 2008 pukul 15.00 WIB 1. Mempertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10%
2. Mengkaji kesiapan bayi untuk minum
3. Meretensi cairan lambung tiap 2 jam
1. R : Klien tampak lemah
H : Kebutuhan cairan
240 cc/hari atau
10tts/menit
2. R : Klien tampak lemah
H : Reflek hisap lemah
3. R : Klien lemah
H : Cairan lambung 0,5
cc berwarna kuning
terang
III 1. Mengkaji turgor kulit
2. Mempertahankan pemberian cairan IVFD sesuai kebutuhan
3. Memantau frekuensi BAB + BAK 1. R : Klien tampak tertidur
H : Turgor kulit jelek
pada saat dicubit
dinding perut kembali
> 1 detik
2. R : Infus telah terpasang
Dextros 10%
H : Kebutuhan cariran
240 cc/hari atau
2tts/menit
3. R : Klien tampak lemah
H : Klien BAB 2-4 x/hari
sebanyak 4 cc dan
BAK 6-8x/hari
sebanyak 6 cc.
IV 1. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat
2. Mengatur suhu inkubator
3. Memantau suhu tubuh setiap 2 jam
1. R : Klien tampak lemah
H : Klien sudah berada
pada inkubator
2. H : Suhu inkubatator
35 0C Suhu tubuh
klien 37.1 0C.
3. R : Klien menangis
H : Suhu : 37.1 0C
V 1. Mengkaji tingkat kecemasan
2. Memberikan penjelasan tentang keadaan klien saat ini
3. Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan
4. Menganjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya 1. R : Orang tua klien mau
menjawab pertayaan
perawat
H : Orang tua klien
tampak cemias dan
tingkat
kecemasannya
sedang
2. R : Keluarga bertanya
mengenai keadaan
bayinya
H : Keluarga mengetahui
keadaan bayinya.
3. R : Keluarga mau
mengungkapkan
perasaannya
H : Keluarga khawatir
dengan keadaan
bayinya saat ini dan
berharap bayinya
cepat dibawa pualng
4. H : Orang tua tampak
mengunjungi
bayinya tiap hari
pada pagi dan sore
hari.
I Rabu
12 November 2008
Pukul 14.00 WIB 1. Mengobservasi pola nafas
2. Mengobsevasi TTV
3. Memonitor SPO2
4. Memberikan terapy O2 sesuai dengan kebutuhan
5. Melakukan kolaborasi pemberian terapy obat Bronchodilator
1. R : Klien bergerak aktif
H : Retraksi rongga dada
berkurang Frekuensi
nafas 68x/menit
2. R : Klien menangis
H : Suhu 36.6 0 C
Nadi 140x/menit
Respirasi : 68x/menit
3. R : Klien bergerak aktif
H : SpO2 97 %
4. R : Klien menangis saat
selang 02 dibetulkan
H : O2 tetap terpasang
1 liter/ menit
5. R : Klien menangis saat
obat diinjekan
H : Aminofilin telah
diinjekan sebanyak
0.2 cc per IV.
II Rabu
12 November 2008
Pukul 14.00 WIB 1. Mempertahankan pemberian cairan melalui IVFD, Glukosa 10%
2. Mengkaji kesiapan bayi untuk minum
3. Melepas NGT 1. R : Klien tampak
bergerak aktif
H : Cairan diberikan
melalui Infus,
kebutuhan cairan
264 cc/hari atau 11
tetes/ menit
2. R : Klien berespon saat
jari ditempelkan pada
mulut bayi
H : Replek hisap ada tapi
masih lemah.
3. R : Bayi menangis
H : NGT telah dilepas
III Rabu
12 November 2008
Pukul 14.00 WIB 1. Mengkaji turgor kulit
2. Mempertahankan pemberian cairan IVFD sesuai kebutuhan
3. Memantau frekuensi BAB + BAK 1. R : Bayi bergerak aktif
H : Turgor kulit jelek
2. H : Infusan tetap
terpasang Dextros
10%
3. R : Klien menangis saat
diganti popok
H : Klien BAB dan BAK
IV Rabu
12 November 2008
Pukul 14.00 WIB 1. Menempatkan bayi pada tempat yang hangat
2. Mengatur suhu inkubator
3. Memantau suhu tubuh setiap 2 jam
1. H : Klien berada pada
inkubator.
2. H : Suhu inkubator 34
0C, suhu tubuh klien
6.6 0C
3. H : Suhu tubuh klien
36.6 0C
V Rabu
12 November 2008
Pukul 14.00 WIB 1. Mengkaji tingkat kecemasan
2. Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan perasaan
3. Menganjurkan keluarga untuk tetap mengunjungi bayinya 1. R : Keluarga tampak
tenang
H : Kecemasan keluarga
berkurang
2. R : Kelarga tampak
senang dengan
perubahan status
kesehantan bayinya
H : Keluarga menyatakan
senang dan ingin
segera bayinya
dibawa pulang
O. EVALUASI
No Diagnosa Evaluasi Kepeawatan
1 I Tanggal 13 November 2008/pukul 15.00 WIB
S : -
O : Keadaan Bayi aktif, klien menangis kuat, retraksi
dinding dada sedikit berkurang, nafas cepat
2 x / menit
A : Gangguan pola nafas belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan
I :
o Kaji pola nafas klien
o Observasi TTV tiap 2 jam
o Monitor SpO2 tiap 3 jam
o Atur posisi bayi semiekstensi
o Terapi O2 sesuai kebutuhan
o Kolaborasi pembererian obat bronckodilator sesuai kebutuhan.
2 II Tanggal 13 November 2008/Pukul 15.30
S : -
O : Reflek hisap (+), Klien minum 5 cc/3jam, Minum
menggunakan dot
A : Gangguan kebutuhan nutrisi ; kurang dari
kebutuhan teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
I :
o Tingkatkan frekuensi minum
o Pertahankan cairan infus
3 III Tanggal 13 November 2008/pukul 14.00
S :
O : IVFD terpasang 11 tetes/menit
A : Resiko tinggi kebutuhan cairan ; kurang dari
kebutuhan cairan teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
o Pertahankan cairan infus
4 IV S :
O : Suhu tubuh 37,1 oC, badan bayi hangat, suhu
inkubator 32 oC
A : Resiko tinggi Gangguan termoregulasi
Hypotermoregulasi teratasi
P : Lanjutkan intervensi
I :
o Kaji suhu tubuh setiap hari
o Atur suhu inkubator
5 V S : Ibu klien mengatakan senang melihat kondisi
anakanya
O : Ibu klien tersenyum, ibu tidak menangis
A : Gangguan rasa aman cemas teratasi
P : Tingkatkan pengetahuan keluarga

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab pembahasan ini penulis mencoba membahas kasus yang penulis laporkan. Dalam hal ini akan diuraikan pula keterkaitan antara landasan teori dengan asuhan keperawatan secara langsung pada By.C dengan diagnosa medis HMD grade II ( hialin Membran Desease ) yang dirawat diruang NICU RSUD Gunung jati Cirebon.
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam proses keperawatan, pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh perawat untuk mengukur keadaan klien dengan memekai norma-norma kesehatan keluarga maupun social yang merupakan system integritasi ( Nasrul Effendi, 1995 )
Dalam faktor yang mendukung dalam pelaksanaan pengkajian diantaranya, adanya kerja sama yang baik antara penulis dengan pihak keluarga. Kerja sama yang dilakukan melalui komunikasi terapeutik dengan tujuan untuk menjalin rasa saling percaya antara penulis dengan klien, dalam pengkajian ini penulis menggunakan metode observasi dan pemeriksaan fisik.
Untuk menguatkan pengkajian data permasalahan, penulis memperoleh data tambahan atau penunjang yaitu dari hasil pemeriksaan laboratorium hematology dan pemeriksaan foto thoraks dan juga menemukan tanda dan gejala adanya retraksi dinding dada, adanaya pernafasan cuping hidung, pernafasan takipneu, pernafasan lebih dari 60 x/menit. Oleh karena itu diagnosa HMD ini akan dibahas oleh penulis lebih lanjut.
Adanya hasil pengkajian yang dilakukan pada By.C selama 4 hari penulis memunculkan 5 diagnosa, yaitu :

1. Gangguan Pola nafas.
Menurut Carpenito, 2002. Gangguan pola nafas adalah suatu pernyataan kondisi tentang seseorang beresiko mengalami ancaman terhadap system pernafasan baik pada saluran nafas maupun pertukaran gas CO2 dan O2 diantara paru-paru dan system pembuluh darah. Diagnosa ini menjadi prioritas utama karena nafas merupakan suatu kebutuhan utama dalam tubuh. Jika kekurangan suplai O2 dalam tubuh bisa menyebabkan kematian pada jaringan atau yang lebih parah lagi bias menyebabkan kematian secara klinis. Masalah gangguan Pola nafas dapat teratasi pada hari ke 4. setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam ditemukan criteria hasil klien dapat bernafas secara spontan, O2 binasal dilepas, SPO2 100, retraksi dinding dada berkurang.
Intervensi untuk mengatasi masalah :
a. Mengobservasi pola nafas
b. Memonitor saturasi O2
c. Mengatur posisi semi retraksi
d. Memberikan therapy O2 sesuai dengan kebutuhan
e. Memberikan therapy obat bronchodilator

2. Gangguan Kebutuhan Nutrisi
Menurut Carpenito, 2002. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan adalah suatu keadaan dimana individu yang tidak puas mengalami atau beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan tidak adequatnya asupan nutrisi untuk kebutuhan metabolistik. Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa ke 2 karena kebutuhan nutrisi sangat berperan penting dalam proses tumbuh kembang pada neonatus. Masalah gangguan kebutuhan nutrisi dapat teratasi pada hari ke 3. setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ditemukan criteria hasil klien dapat minum susu 15 cc setiap 2 jam
Intervensi yang dilakukan :
a. Memberikan cairan IVFD
b. Memberikan minum sesuai jadwal
c. Menimbang berat badan

3. Resiko Tinggi gangguan Kebutuhan cairan Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Berdasarkan konsep dari pengkajian yang di peroleh prioritas diagnosa tersebut dirumuskan sebagai diagmosa ke tiga karena menurut penulis diagnosa tersebut hanya merupakan suatu resiko dan belum terjadi secara actual.
Intervesi yang dilakukan untuk mengatasi diagnosa di atas :
a. mempertahankan cairan infus
b. mengkaji intake dan output.
c. Mengkaji tanda-tanda dehidrasi
d. Memberikan minum sesuai dengan jadwal yang diberikan

4. Resiko Tinggi Gangguan Thermoregulasi ; Hipotermi
Pada neonatus pada HMD biasanya terjadi pada bayi prematur sehingga kulitnya sangat tipis dan jaringan lemaknya belum terbentuk dan pengaturan suhu belum sempurna, maka hal ini akan menyebabkan resiko hilangnya panas tubuh

5. Gangguan Rasa Aman Cemas ; Keluarga
Gangguan rasa aman cemas biasanya terjadi pada keluarga dikarenakan melihat kondisi anaknya, hal ini dikarenakan koping individu/keluarga yang labil dan ketidak tahuan tentang kondisi penyakit yang dialami anaknya.