Jumat, 25 Juni 2010

HIRSPRUNG

A. Pengertian
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus fungsional (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997; Fonkalsrud,1997). Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 1993; Fonkalsrud, 1997; Lister, 1996).
Penyakit Hirschprung adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus (Ariff Mansjoer, dkk. 2000). Dikenalkan pertama kali oleh Hirschprung tahun 1886. Zuelser dan Wilson, 1948 mengemukakan bahwa pada dinding usus yang menyempit tidak ditemukan ganglion parasimpatis.







B. Etiologi
1. Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
2. Sering terjadi pada anak dengan Down Syndrome
3. Kegagalan sel neuron pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada myenterik dan submukosa dinding plexus.



C. Sejarah
Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa megakolon (Fonkalsrud, 1997; Swenson dkk, 1990). Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi (Swenson dkk, 1990).
Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan peristaltic usus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion (Kartono,1993; Swenson,2002).
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas tentang defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya menerangkan tentang penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi pengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan. Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara meyakinkan menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion dengan gejala klinis yang terjadi (Swenson,1990; Klein dkk,1995; Storey dkk,1997).
Bodian dkk Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen aganglionik dengan preservasi spinkter ani (Swenson, 1990). Okamoto dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum (Kartono,1993; Tamate dkk,1994; Fujimoto dkk,1996; Yamada,1999; Lee,2002).

D. Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior (Yamada, 1999; Shafik,2000).
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling: atas, medial dan depan (Shafik, 2000).
Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus (Yamada,2000; Shafik,2000).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvic (syaraf parasimpatis) (Yamada, 2000; Shafik, 2000; Wexner dkk, 2000; Neto dkk, 2000).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus:
1. Pleksus Auerbach: terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle: terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner: terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut (Fonkalsrud dkk, 1997; Swenson dkk,1990).



E. Fungsi Saluran Anal
Pubo-rectal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan peristaltik tersebut (seperti mencegah flatus) maka diperlukan kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang lain (Yamada, 1999; Shafik, 2000; Wexner, 2000).
Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat. Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:
Tahap I : Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II : Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara involunter.
Tahap III : Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV : Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi dapat terjadi (Fonkalsrud, 1997).

F. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta (Kartono, 1993). Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup signifikan yakni Down Syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).

G. Diagnosa
1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat:
a. Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakanancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini,yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telahdilakukan kolostomi (Kartono, 1993; Fonkalsrud dkk, 1997; Swenson dkk, 1990).
b. Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.
b) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi.
c) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
(Kartono,1993).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid (Kartono, 1993; Fonkalsrud dkk, 1997; Swenson dkk, 1990).
3. Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase, suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin.
Disamping memakai asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan interpretasiyang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Cilley dkk,2001).
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis, metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun 1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi hisap dilakukan pada 3 tempat: 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono, 1993; Swenson dkk, 1990; Swenson, 2002).
4. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar: transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer (Shafik, 2000; Wexner, 2000; Neto dkk, 2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah:
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.
b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik.
c. Sampling reflex tidak berkembang.
d. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces.
e. Tidak dijumpai relaksasi spontan .
(Kartono, 1993; Tamate, 1994; Neto, 2000).

H. Tindakan Bedah.
1. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah: menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud dkk, 1997; Swenson dkk, 1990).
2. Tindakan Bedah Definitif
a. Prosedur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002).
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
b. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
1) Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia;
2) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
3) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;
4) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis (Kartono,1993).

c. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990).

d. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis(Swenson dkk,1990).

I. Perawatan
Masalah utama adalah terjadinya gangguan defekasi (obstipasi). Perawatan yang dilakukan adalah melakukan spuling dengan air garam fisiologis hangat setiap hari (bila ada persetujuan dokter) dan mempertahankan kesehatan pasien dengan memberi makanan yang cukup bergizi serta mencegah terjadinya infeksi.

J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama darisetiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baikfungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson dkk,1990).
Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya: usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Menurut pengamatan Swenson sendiri, diperoleh angka 2,5 – 5%, sedangkan apabila dikerjakan oleh ahli bedah lain dengan prosedur Swenson diperoleh angka yang lebih tinggi.
Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami kebocoran. Manifestasi klinis yang terjadi akibatkebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga spinkterektomi posterior (Lister,1996; Teitelbaum dkk,1999; Swenson,2002).
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yangtepat. Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab / prosedur operasi yang telah dikerjakan. Prosedur Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Cilley dkk,2001). Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan utama dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi tarik terobos, disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas. Namun hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soilingatau kecipirit merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan (Heikkinen dkk,1997; Lister,1996; Heij dkk,1995). Swenson memperoleh angka 13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2% dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamelmodifikasi. Sedangkan prosedur Rehbein juga memberikan angka 0%.
Hal ini dapat dimengerti jikalau kita mencermati perbedaan prosedur operasi yang dipergunakan. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka kita melakukan reseksi rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak sama struktur anatominya antara neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada anak yang sudah agak besar, pemotongan 2 cm dari anal verge dapat mencederai spinkter ani interna sehingga inkontinensia dapat terjadi. Oleh sebab itu Swenson menganjurkan pemotongan rektum pada level yang berbeda: 2 cm di anterior dan 0,5-1 cm di posterior (Swenson II).
Disamping itu penyebab lain kecipirit pada prosedur Swenson disebabkan oleh stenosis sirkuler yang terjadi. Pemotongan rektum yang terlalu tinggi memang dapat menyelamatkan fungsi spinkter ani, namun menyebabkan obstipasi berulang. Hal ini terlihat pada prosedur Rehbein dimana reseksi dan anastomose kolorektal dilakukan intraabdominal,memberikan hasil kontinensia yang sangat memuaskan namun tinggi angka obstipasi sehingga kurang disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur Duhamel modifikasi merupakan prosedur yang paling logis dalam mengatasi masalah inkontinensia dan obstipasi. Pemotongan rektum 2 cm dari anal verge pada ½ lingkaran posterior tidak akan mencederai spinkter ani interna, sedangkan mengatasi sisa kolon aganglionik yang terlalu panjang adalah dengan membelah septum sepanjang mungkin. Hal ini dapat menerangkan mengapa dengan prosedur Duhamel modifikasi, diperoleh angka stenosis, kecipirit dan obstipasi kronik yang rendah (Kartono,1993; Fonkalsrud,1997; Reding dkk,1997; Swenson dkk,1990; Tamate dkk,1994; Swenson,2002).
Namun kecipirit tidaklah sama dengan inkontinensia. Kartono mengusulkan pembagian inkontinensia atas: kecipirit, kontinensia kurang, inkontinensia dan obstipasi berulang. Kriteria tersebut bersifat subjektif danbersifat non skala sehingga sulit dipergunakan dalam menilai keberhasilan operasi tarik terobos. Sedangkan Hekkinen (1997) mengusulkan 7 parameter objektif untuk menilai fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor. Dikatakan normal apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 10–13, kontinensia sedang jika skor antara 5–9, sedangkan inkontinensia apabila skor sama dengan atau kecil dari 4 (Heikkinen dkk,1997).

Daftar Pustaka


Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Hisrcprung. 2004. available from : http://www.medicastore.com

Wong DL, Wong’s Essentials of Pediatric Nursing, Sixth Edition, St. Louis, Mosby, 2003
Betz CL, Sowden LA, Buku Saku Keperawatan Pediatri, Alih Bahasa Jon Tambayong, edisi 3, Jakarta, EGC, 2002
Suriadi, Yuliani, Asuhan Keperawatan Pada Anak, Jakarta, CV,. Sagung Seto, 2001
Medicastore, Penyakit Hirscprung, http://www.medicastore.com/cybermed/detail pyk.php?idktg=19&iddtl=03, diakses tanggal 21 November 2005
Rulina, Gangguan Mekanis Pada Usus Besar.http://balita-anda.com/sebelum.html. diakses pada tanggal 21 November 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar